LAPOS - Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo bertekad tak akan bergantung pada pimpinan partai politik (parpol) saat mengusulkan undang-undang (UU). Tekad itu disampaikan menjawab pertanyaan terkait sulitnya sejumlah UU diusulkan pemerintah ke DPR untuk disahkan lantaran butuh persetujuan pimpinan parpol. Salah satunya UU Perampasan Aset.
Menanggapi hal itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, kehebatan seorang pemimpin dinilai dari bagaimana bisa mengatasi kepentingan kelompok untuk kepentingan rakyat.
”Kehebatan presiden justru bagaimana dia bisa mengatasi kepentingan kelompok seperti parpol-parpol untuk sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat,” tegas Lucius, Selasa (9/1).
Menurut dia, selama ini proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) sarat dengan kepentingan penguasa.
”Makanya disebut politik legislasi. Ya, kalau namanya politik, unsur-unsur utama dalam dunia politik mulai dari parpol hingga DPR, semuanya punya andil atau bisa dikatakan bergantung satu sama lain,” sebut Lucius.
Karena itu, menurut dia, pembentukan RUU membutuhkan dukungan politik. Sehingga tak bisa tidak, presiden harus berkomunikasi dengan elite parpol di parlemen agar bisa mendorong RUU tertentu segera dibahas dan disahkan.
”Secara UU, presiden gak bisa ngegas sendiri karena UUD dan UU MD3 menyatakan bahwa kuasa pembentukan RUU itu ada di DPR. Tidak bisa presiden mengabaikan DPR dan tentu saja parpol,” jelas Lucius.
Dia mengatakan, politik di Indonesia bukan berdasar ideologi, namun atas kepentingan. Konflik kepentingan akan menyetir presiden.
”Yang menjadikan dia jadi presiden itu kepentingan dari parpol pengusung. Karena itu saat jadi presiden kepentingan parpol yang akan menyetir,” ungkap Lucius.
Namun, pada prinsipnya, presiden masih memiliki ruang untuk mengusulkan RUU yang pro rakyat. Ganjar misalnya, bisa berkaca bagaimana Presiden Jokowi pada awal pemerintahan begitu powerful dalam mengusulkan RUU.
”Jadi kalau Ganjar menyampaikan tekad untuk mengusulkan RUU tanpa bergantung pada pimpinan parpol, ya dia seharusnya bisa banyak belajar pada Jokowi,” ujar Lucius. Direktur Eksekutif RISE Institute Anang Zubaidy mengungkapkan, kekuasaan pembentukan UU ada pada DPR. Namun demikian, pembahasan dalam pembentukan UU melibatkan pemerintah dan DPR.
”Kedua lembaga ini memiliki kedudukan yang setara (fifty-fifty) sehingga jika salah satu (pemerintah atau DPR) tidak setuju, UU tidak dapat disahkan,” kata Anang Zubaidy, Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Di sisi lain, dia menambahkan, persetujuan ketum parpol dalam pembentukan UU bergantung pada mekanisme internal partai. ”Bisa saja suatu parpol menetapkan standar kerja (semacam SOP) bahwa semua rencana pembentukan UU harus dibahas terlebih dahulu secara internal di parpol,” ucap Anang Zubaidy.
Pada titik itu, lanjut dia, ketum parpol akan sangat menentukan suara kader partai yang berada di DPR. ”Terlebih jika di aturan internal parpol yang bersangkutan suara ketum parpol adalah absolut,” tambah Anang Zubaidy.
Jika hal itu terjadi, pemerintah akan kesulitan untuk menggolkan undang-undang. Begitu pula, DPR juga tidak bisa bergerak sendiri untuk mengesahkan UU. (*)