Bukhari Sukarno

--

 

Nama Bung Karno memang mendunia di tahun itu. Setahun sebelumnya Bung Karno sukses menyelenggarakan KTT Asia Afrika di Bandung. Uni Soviet ingin menarik Bung Karno ke orbitnya agar tidak ditarik ke orbit adikuasa satunya: Amerika Serikat.

 

Maka setelah ke Moskow dan St Petersburg, Bung Karno ke Tashkent, ibu kota Uzbekistan. Dari teater ini saya baru tahu: perjalanan Bung Karno dari Tashkent ke Samarkand ternyata naik kereta.

 

Saya ke Samarkand naik pesawat. Ikut pesawat kepresidenan Soeharto. Tahun 1989. Di tahun 1956 belum ada pesawat dari Tashkent ke Samarkand.

 

Adegan Bung Karno dan rombongan naik kereta api cukup menarik. Di situ delegasi Indonesia kelihatan naik kereta ekonomi. Di zaman itu tidak ada kelas eksekutif. Pilihannya hanya dua: ekonomi atau kereta malam –ada tempat tidur susun. Yang terakhir itu hanya untuk jarak jauh.

 

Kereta api Tashkent-Samarkand ''hanya'' enam jam. Zaman itu masih pakai lokomotif yang dijalankan dengan batu bara. Benar-benar masih kereta api. Lokomotif diesel memang sudah ada tapi baru mulai ada. Baru untuk jalur-jalur utama.

 

Dari adegan di makam Imam Bukhari saya juga baru tahu: Bung Karno berziarah di malam hari yang gelap. Anda pun belum tahu: Bung Karno memasuki makam itu dengan ''laku ndodok''. Yakni berjalan dalam posisi jongkok.

 

Jalan model begini biasa dilakukan di keraton Jawa. Juga saya lakukan di masa kecil –saat akan mendekati nenek atau orang yang dituakan. Di setiap Lebaran, anak-anak muda harus bisa melakukan ini di acara sungkeman halal bihalal. Yang tidak bisa akan jadi bahan tertawaan dan olok-olok. Wanita lebih sulit melakukannya karena pakai kain jarit kebaya.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan