Oleh: Dahlan Iskan
Senin 09-06-2025
(Elon Musk bersama putranya, X Æ A-Xii, dengan Presiden AS Donald Trump saat menandatangani perintah eksekutif pada 11 Februari 2025. Elon Musk mengatakan bahwa ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintahan AS setelah berselisih dengan Trump. --Jim WATSON / AFP)
Orang pintar banyak maunya. Contohnya Elon Musk. Tapi juga banyak uangnya. Bisakah orang pintar menjadi staf yang baik?
Dalam hal Elon Musk tidak bisa. Orang pintar maunya di depan. Maka bulan madunya bersama presiden pintar Donald Trump hanya berlangsung enam bulan. Lalu mulai cekcok. Pisah ranjang. Cerai. Bertengkar.
Itulah juga problem dalam membentuk zaken kabinet. Harus cari orang-orang pintar tapi penurut. Itu langka. Mungkin baru ada satu: Sri Mulyani. Atau dua: Amran Sulaiman. Atau tiga: Anda pilih sendiri.
Orang pintar banyak. Tapi kalau hanya akan membuat sebuah tim pecah berkeping lebih baik pilih yang tidak terlalu pintar tapi mau bekerja sangat keras. Syaratnya: presidennya harus sangat pintar.
Sang presiden punya gagasan besar dalam jumlah yang banyak. Gagasan itu tinggal didistribusikan ke para menteri untuk dikerjakan. Menteri ''kurang pintar'' bukan berarti dungu. Artikan kurang pintar itu dengan ''cukup pintar''.