Berkat kegigihan Jannet saya bisa tiba di kota kecil Rizhao. Anda masih ingat Jannet: yang ikut saya keliling Amerika pakai mobil bersama suaminyi.
Saya heran: kenapa Indonesia mengirim dokter spesialis jantung sekolah konsultan di Rizhao. Setingkat Trenggalek untuk Jatim. Atau Lubuklinggau untuk Sumsel. Bukan ke Beijing, Shanghai, atau Guangzhou.
Meski ini kota kecil, ternyata RS Rizhao salah satu pusat penanganan jantung. Ini rumah sakit pendidikan untuk universitas kedokteran Qingdao. Ini RS swasta. Pendirinya ahli jantung terkemuka Tiongkok: Prof Ge Junbo. Ia ayatullah-nya jantung di Tiongkok.
Ahli jantungnya: 30 orang. Padahal jumlah tempat tidur pasiennya hanya 200. Itu pun tidak semua untuk jantung. Masih ada banyak departemen. Termasuk ortopedi. Ruang operasinya: lima teater.
Hari kedua di Rizhao saya makan siang dengan tim dokter dari ortopedi. Hadir juga investor rumah sakit ini: Steven Song, putra asli Rizhao, pengusaha besar, bukan dokter.
Tempat makannya sama dengan makan siang dengan tim ahli jantung di hari pertama: di kantin VIP rumah sakit itu.
Selesai makan siang saya kembali diajak keliling rumah sakit. Melihat fasilitas ruang operasi. Kebetulan lagi ada operasi untuk orang yang terkena stroke.
Saya lihat tiga MRI/CT-nya buatan Eropa. Tapi salah satunya sudah buatan Tiongkok sendiri. Mutunya masih kalah, tapi itu soal waktu. Generasi berikutnya sudah pasti lebih baik. Tiga tahun lagi Anda sudah akan bisa menjalani MRI made in China di Indonesia: pasti lebih murah. Dengan demikian, tidak lama lagi RSUD kabupaten pun akan bisa beli MRI –asal ahlinya segera ada.