Serba Utara

--

 

Itu juga mencerminkan tekad perlunya membalik keadaan. Satu-satunya jalan melawannya adalah: bergerak maju. Bangkit. Kejar kemajuan. Hapus stigma.

 

Senin kemarin saya mendarat di Perth. Sudah lama tidak ke sini. Rasanya saya pernah bertekad --setelah tiga kali ke Perth-- untuk tidak mau ke Perth lagi. Indah, bersih, tapi membosankan. Pukul 17.00 sudah sepi --kehidupan seperti berhenti pada jam itu.

 

Kali ini saya ke Perth dalam posisi mau tidak mau: cucu Pak Iskan minta saya ikut ke Perth --bersama Bonek dan Bonita. Australia Barat mengundang Persebaya bertanding di sana. Sekalian menandai 35 tahun sister province Jawa Timur-Australia Barat.

 

Saya pilih naik pesawat paling murah: TransNusa. Dari Bali ke Perth. Konsekuenainya: harus bermalam di Bali. Tidak mengapa. Sesekali ke Bali tanpa agenda. Jalan-jalan. Atau bertemu sahabat.

 

Ternyata sulit cari hotel di Bali di hari libur panjang seperti ini. Apalagi cari hotelnya juga tidak serius. Akhirnya saya pilih cari homestay. Yang tidak jauh dari Kuta dan Bandara. Sekalian merasakan --untuk kali pertama-- seperti apa yang disebut homestay di Bali.

 

Ternyata seperti hotel juga. Hanya kamarnya sedikit --hanya 7 kamar. Rumah khas Bali yang sudah disesuaikan dengan standard hotel untuk turis asing: bersih, kamar mandi di dalam, ada taman kecil dan kolam renang kecil --lebih tepatnya tempat berendam.

 

Kamar saya di lantai dua. Saat mau menuju ke kamar itu saya harus melewati koridor lantai bawah. Lewat kamar berkaca lebar. Tembus pandang. Di dalamnya terlihat wanita muda tinggi berisi. Dia hanya pakai bikini, mematut diri di depan cermin. Turis asing. Itu bikin dosa di mata tapi sayang dilewatkan. Dosanya kecil karena hanya terlihat sesapuan pandang.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan