Kedelai Gajah

--

Oleh: Dahlan Iskan

Rabu 28-05-2025

SAYA ke sawah pekan lalu. Ke rumah seorang petani di dekat Greensburg. Satu jam dari Indianapolis –sehari sebelum nonton balap mobil Indy500.

Dari Greensburg pun, untuk ke ''desa'' itu, harus bermobil. Melewati jalan-jalan aspal yang membelah sawah yang luas. Di kejauhan sana, di tengah sawah sana, terlihatlah segerumbul pepohonan. Gerumbulan pohon itulah yang saya sebut satu ''desa''. Saya beri nama Desa Charles.

Satu ''desa'' itu isinya dua atau tiga bangunan saja. Milik satu orang. Charles.

Bangunan pertama rumah tinggal. Satunya lagi bengkel mekanik. Yang ketiga unit pengolah hasil pertanian.

Di ''Desa Charles'' hanya keluarga Charles yang tinggal. Dengan istri dan Adams, anak laki-lakinya yang baru lulus SMA. Di seputar ''desa'' itu hanya ada hamparan sawah nan luas.

Dari jauh gerumbulan pohon itu seperti sebuah pedukuhan yang amat kecil. Setelah tiba di situ terlihat luas. Rumah tinggalnya, dua lantai. Halamannya luas –ditanami bebungaan dan tanaman hias.

Di sudut halaman sana, ada bangunan processing kedelai. Kedelai dijadikan minyak –dijual ke pabrik minyak goreng untuk dimurnikan. Atau jadi biodiesel.

Saya masuk ke unit processing itu. Mesinnya sederhana sekali: mesin press kedelai biasa. Seperti rakitan mereka sendiri.

Nyeberang ke halaman belakang ada bangunan bengkel. Lebih besar dari rumah dan unit processing kedelai. Saya pun diajak masuk ke bengkel. Wow!: ada gajah bengkak di dalam bengkel itu.

Yang saya sebut gajah-bengkak adalah kendaraan raksasa milik Charles. Harganya: Rp 10 miliar. Seorang petani bisa beli kendaraan semahal itu.

Roda kendaraan itu sangat besar. Ukuran bannya saja lebih tinggi daripada badan saya. Untuk naik ke tempat kemudi harus memanjat lima anak tangganya.

Itulah mesin untuk panen kedelai. Dengan satu mesin itu tanaman kedelai seluas 1000 hektare bisa dipanen dalam satu minggu. Termasuk proses menjadikannya butiran kedelai, juga di mesin itu.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan