Sekolah Ramah Guru dan Tenaga Kependidikan

Kita sering mendengar istilah sekolah ramah anak. Bahkan ada sekolah-sekolah tertentu yang mendapatkan pelatihan serta dijadikan sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA). --

Logikanya, bagaimana guru dan tenaga kependidikan dapat memberikan layanan yang ramah anak, kalau mereka sendiri bekerja dalam suasana yang tertekan dan dalam perasaan tidak aman serta tidak nyaman?

 

Tentunya akan sulit terwujud. Bagaimana mereka bisa fokus melaksanakan tugas, jika mereka pun masih berjibaku dengan kebutuhan dasar karena rendahnya honor yang mereka terima, khususnya bagi guru dan tenaga kependidikan honorer

 

Adalah benar perasaan bahwa syukur dan bahagia bukan dicari, tapi diciptakan. Walau demikian, bukan berarti mereka harus dipaksa terlihat bahagia dan bersyukur dalam kondisi yang sebenarnya bertentangan dengan kondisi nyata yang dialami oleh mereka.

 

dalam konteks sarana dan prasarana, kondisi yang diperlukan oleh guru dan tenaga kependidikan bukan berarti hal yang serba ideal, karena mereka pun realistis dengan kondisi sekolah tempatnya bekerja. Minimal, mereka dapat bekerja dengan aman, dan lancar dengan sarana yang ada.

 

Dalam konteks psikologis, komunikasi yang terjalin dengan baik antarwarga sekolah, suasana keleluargaan, dan suasana kebersamaan dapat mendukung sekolah yang ramah guru dan tenaga kependidikan. Kepala sekolah memberikan perhatian dan perlakuan yang sama dan egaliter terhadap semua guru dan tenaga kependidikan. Tidak ada yang dianakemaskan dan tidak ada yang dianaktirikan.

 

Semua guru dan tenaga kependidikan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, diminta saran dan pendapatnya, didengar keluhan-keluhannya, dan ditindaklanjuti sesuai dengan kemampuan sekolah. Tidak ada kelompok eksklusif di sekolah. Guru dan tenaga kependidikan senior menyayangi yang senior menyayangi guru dan tenaga kependidikan junior. Sedangkan yang junior menghormati yang senior. Selain itu, semangat soliditas dan solidaritas harus ditumbuhkan diantara mereka.

 

Dalam konteks penghasilan, walau hal ini bersifat relatif, tetapi pada dasarnya setiap guru dan tenaga kependidikan memiliki kebutuhan yang sama. Oleh karena itu, mereka harus mendapatkan penghasilan yang layak. Hal yang berbeda hanya soal keinginan. Dan ini yang kadang menyebabkan besar pasak daripada tiang. Di satu penghasilan terbatas tetapi di sisi lain keinginan tidak terbatas. Rendahnya penghasilan dan tingginya kebutuhan serta keinginan disinyalir menjadi penyebab guru dan tenaga kependidikan banyak yang terjerat pinjaman online (pinjol).

 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023 menyatakan bahwa guru menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjol dengan angkat sebesar 42%. Tidak bisa dipungkiri, ada guru yang saat ini masih nyambi mencari penghasilan tambahan dengan cara berjualan, pengemudi ojek online (ojol), jasa make up, hingga menjadi pemulung. Bahkan ada guru yang akhirnya mengundurkan diri dari sekolah dan memilih bekerja menjadi kurir jasa titipan dengan pertimbangan gajinya lebih besar.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan