Pendidikan Anak Dalam Keluarga

Kita kiranya sepakat bahwa awal pembentukan nilai, karakter, dan masa depan anak sangat ditentukan oleh keluarga. Keluarga menjadi basic atau dasar pendidikan anak. Bagaimana anak hidup dan bermasyarakat kelak sangat ditentukan oleh bagaimana anak dididik--

Bentuk pengajaran juga berlaku bagi anak bagaimana seharusnya mencari dan menemukan pasangan hidup. Bertalian dengan hal ini kerap terdengar pengajaran yang berbunyi, " sizi-sizi ne'e tuka ghi, ngira-ngira ne'e bonu pidha". Ungkapan ini secara sederhana berarti perlulah memperhatikan garis keturunan dengan semua latar belakangnya. Termasuk di dalamnya pendidikan, sifat, dan karakternya.

 

Perlunya memperhatikan garis keturunan untuk menilik dengan saksama adanya pertalian darah atau tidak. Ini sangatlah penting karena meyangkut kepentingan seluruh keluarga dan suku, dan bukan hanya kepentingan anak-anak yang bersangkutan. Bentuk pengajaran yang serentak merupakan pengawasan orang tua terhadap anak tampak dalam ungkapan, " kna go wta, kna go nara, kna go tuka ghi bonu pidha". Petunjuk ini menggambarkan agar anak memperhatikan hubungan darah. Di sini peran orang tua adalah untuk mendampingi anak remaja menjelang usia dewasanya.

 

Disadari bahwa pengawasan orang tua tidaklah mungkin berlangsung selama-lamanya. Kesadaran ini terbersit dalam ungkapan, " kami mdhu kere ne'e ulu da pia mna tolo". Ungkapan ini berarti orang tua tidak memotong lehernya dan menyimpannya di salah satu sudut rumah untuk mengawasi anak-anaknya di masa mendatang. Atau dengan perkataan lain mau mengatakan bahwa orang tua tidak hidup dan berada selamanya dengan anak-anaknya. Dengan demikian seorang anak diharapkan agar bisa mandiri dengan tetap berpegang pada pendidikan dan pengajaran orang tuanya.

 

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan pengajaran terhadap anak oleh orang tua sudah ditanamkan sejak dini dalam keluarga dan berlangsung setiap hari. Bentuk pendidikan dan pengajarannya jelas dalam ungkapan-ungkapan yang menghendaki agar anak mampu berperilaku baik sejak dini dari rumah/keluarganya sendiri, sehingga pada waktunya anak mampu merealisasikannya dalam keluarga yang baru, juga dalam masyarakat sebagai lingkup hidup yang lebih luas.

 

Pendasaran tentang keluarga diawali oleh gagasan bahwa keluarga merupakan gereja rumah tangga (ecclesia domestica). Keluarga merupakan sel dasar/inti masyarakat dan tempat utama humanisasi pribadi dan masyarakat. Keluarga sebagai gereja rumah tangga disebut juga "gereja domestik" atau "gereja mini". Ini erat kaitannya dengan gereja selingkungan, sestasi, separoki, sekeuskupan, dan sedunia. Relasi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kelompok gereja yang paling kecil (mini), tetapi bukan yang paling rendah atau paling pinggir, tetapi sebaliknya, paling mendasar dan paling inti.

 

Keluarga disebut sebagai "sel dasar/inti dalam masyarakat". Sel (cellula) adalah unsur kecil yang membentuk suatu benda. Suatu benda terdiri dari sel-sel. Tanpa sel-sel itu tidak ada suatu benda. Sel-sel itu bisa kuat, bahkan dahsyat. Jadi, sel itu adalah kekuatan.

 

Keluarga sebagai sel dasar atau inti masyarakat berarti unsur penting yang membentuk masyarakat. Tanpa sel itu, tidak ada masyarakat, tidak ada kekuatannya. Suatu negara tanpa keluarga-keluarga yang kuat, mengakibatkan lemahnya negara tersebut. Keluarga adalah tolok ukur kekuatan suatu negara. Kalau keluarga-keluarga dalam suatu negara makmur, maka negara itu akan makmur; kalau miskin, maka negara itu miskin.

 

Pendidikan yang sejati meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya. Untuk mencapai tujuan ini, perlulah pengembangan bakat fisik, moral, dan intelektual. Dan penanggung jawab utama atasnya selain orang tua, adalah juga Gereja, sekolah, dan masyarakat pada umumnya. Lewat pengembangan pribadi yang harmonis pada akhirnya diharapkan agar anak memperoleh citarasa dan tanggungjawab yang semakin sempurna dalam kehidupan sosial/masyarakat. (yni)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan