Siapa Mikir

--

 

Lalu ada pernyataan Presiden Jokowi bahwa proyek kereta cepat itu "B to B". Bukan "G to G". Kenyataannya: "B" di situ adalah lembaga bisnis BUMN --milik negara.

 

Sejak semula kita semua harusnya sudah tahu bahwa tidak mungkin B di situ bukan BUMN. Jadi ketika ada yang mengucapkan "B to B" harusnya langsung tidak percaya bahwa G tidak akan terlibat. Apalagi bila belakangan B to B itu disertai dokumen jaminan negara. Maka "B to B" di situ hanya pelaksanaannya. Resiko akhirnya tetap di negara.

 

Bahwa Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengindikasikan tidak mau membayar timbunan bunga kereta cepat dari APBN, sifatnya baru indikasi. Purbaya belum pernah memberi penegasan yang eksplisit soal itu.

 

Yang disampaikan Purbaya, saya nilai, masih sebatas pada prinsip "Danantara dong yang mikir. Masak saya". Artinya, Danantara tidak boleh cepat-cepat lempar handuk-busuk ke "atas".

 

Danantara harus cari cara sekuat otaknya untuk menyelesaikan bunga pinjaman itu. Sudah mau menerima jabatannya harus mau pula "mikir".

 

Yang duduk di Danantara adalah para jago utak-atik angka. Kalau Presiden Prabowo berani gebrak podium Sidang Umum PBB, dirut Danantara mestinya berani gebrak meja perundingan. Sampai akhirnya ketemu rumusan penyelesaian tanpa melibatkan APBN.

 

Apakah Disway bisa menyumbang pemikiran bagaimana menyelesaikannya?

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan