Tegangan Tinggi

--
Azan magrib pun menggema keras di dalam pasar yang padat manusia ini –70 persennya wanita. Tidak ada yang hirau. Semua tetap di kesibukan mereka. Tidak ada ekspresi wajah yang berubah.
Sampai malam pasar ini tetap ramai. Malam yang redup. Nyala listriknya seperti rembulan yang tertutup awan.
"Kita ke kampung Kristen dan Yahudi," ajak Gus Najih.
"Di mana?" tanya saya.
"Di situ. Di depan masjid," jawabnya. "Mepet dengan masjid," tambahnya.
--
Itulah kampung Arab Kristen. Tidak pernah terganggu. Sepanjang masa. Pun di masa pemerintahan baru yang dipimpin mantan petinggi Taliban sekarang ini.
Kampung ini sudah sepi. Lorong-lorongnya gelap. Tapi tidak ada perasaan tidak aman berjalan malam di Damaskus. Apalagi sambil memegang es krim.
Di kota Aleppo, keesokan harinya, kami juga jalan-jalan malam. Menyusuri jalan-jalan kecil kota. Tidak ada perasaan takut. Atau waswas. Pun Janet. Bahkan di beberapa lokasi ada anak kecil yang menyapa Janet: ni hao!
Sampai matahari tenggelam pun toko-toko alat listrik di Aleppo masih buka. Begitu semangat mereka berjualan. Kian malam kian banyak kafe yang buka. Wanita yang ke kafe di Aleppo, 80 persen tanpa penutup kepala.
Pukul 21.00 kami kembali ke hotel. Sepanjang hari belum istirahat. Mulai terasa mengantuk.
Tiba di lobi hotel terlihat begitu banyak wanita Arab. Pakaian umumnya hitam. Pakaian pesta. Ternyata ada pengantin di hotel itu. Para wanita terus berdatangan. Naik ke ballroom di lantai dua.
Saya minta Gus Najih bertanya ke wanita 5i yang duduk di sofa di sebelah saya.
"Apakah pengantinnya sudah tiba?"
Kalau belum, kami ingin menunggu kedatangannya. Seperti apa.