Masyarakat harus mengenal batasan keterbukaan informasi publik dan informasi yang dikecualikan

Oleh : Eka Pitra, M.Pd Pengamat Demokrasi dan Kebijakan Publik (Institut Demokrasi dan Kebijakan Publik)-Koranlapos.com-(Lahat Pos)

Misalnya, informasi medis seorang pasien tidak boleh diungkapkan kepada publik tanpa persetujuan yang bersangkutan. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan informasi yang dapat merugikan individu secara sosial, psikologis, maupun hukum. Menurut laporan Komisi Informasi Pusat (2024), lebih dari 30% sengketa informasi publik pada tahun tersebut melibatkan pelanggaran privasi pribadi yang tidak seharusnya diakses secara terbuka.

Keempat, informasi yang dapat merugikan kepentingan industri dan perdagangan. Informasi seperti rahasia dagang, rencana bisnis strategis, atau teknologi eksklusif milik perusahaan harus dijaga kerahasiaannya.

Jika informasi ini terbuka ke publik, perusahaan bisa kehilangan keunggulan kompetitifnya dan hal tersebut dapat merusak iklim usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu, UU KIP melindungi informasi ini sebagai bagian dari perlindungan atas hak ekonomi pelaku usaha.

Pentingnya memahami informasi yang dikecualikan bukan sekadar soal hukum, melainkan juga soal etika dan tanggung jawab sebagai warga negara. Pertama, masyarakat akan mampu membedakan antara informasi yang seharusnya dibuka dan yang sebaiknya tetap dijaga kerahasiaannya. Ini akan mencegah tuntutan keterbukaan yang tidak proporsional dan mendorong penggunaan informasi secara bijak.

Kedua, penghormatan terhadap privasi dan hak-hak individu akan semakin kuat. Di era digital saat ini, banyak informasi pribadi yang tersebar tanpa kontrol. Jika masyarakat memahami batasan-batasan ini, maka risiko pelanggaran privasi bisa diminimalisasi. Ketiga, masyarakat akan memahami pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi seluruh warga negara, dan kadangkala hal itu menuntut pembatasan atas informasi tertentu.

Keamanan nasional bukan sekadar urusan militer, tetapi juga mencakup kestabilan sosial, ekonomi, dan politik. Keterbukaan informasi yang berlebihan tanpa kendali justru bisa menjadi bumerang yang merusak ketertiban umum. Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2023 mencatat bahwa kebocoran informasi strategis di instansi pemerintah meningkat 17% dibanding tahun sebelumnya, menunjukkan urgensi penguatan batasan akses terhadap informasi sensitif.

Dalam konteks ini, edukasi publik menjadi sangat penting. Pemerintah melalui lembaga-lembaga seperti Komisi Informasi Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta media massa perlu terus menyosialisasikan informasi tentang apa saja yang termasuk dalam kategori informasi dikecualikan.

Edukasi ini harus bersifat inklusif dan merata hingga ke daerah-daerah, agar tidak terjadi kesenjangan informasi yang bisa menimbulkan ketidakpercayaan atau bahkan konflik sosial. Sebagai contoh konkret, Kota Cirebon di Provinsi Jawa Barat telah menunjukkan komitmen terhadap transparansi yang bertanggung jawab dengan menerima penghargaan sebagai Kota Informatif tahun 2024 dari Komisi Informasi Jawa Barat. Capaian ini menunjukkan bahwa keterbukaan informasi dapat berjalan seiring dengan pemahaman batasan yang tepat, dan menjadi contoh baik bagi daerah lain.

Di sisi lain, pemerintah juga harus tetap menjamin keterbukaan terhadap informasi yang memang menjadi hak publik. Ketika masyarakat memahami bahwa keterbukaan informasi memiliki batasan yang sah, maka kepercayaan terhadap pemerintah justru akan meningkat, karena publik merasa pemerintah berlaku adil dan transparan dalam menjelaskan batasan-batasan tersebut.

Ini akan membangun relasi yang lebih sehat antara pemerintah dan masyarakat, berbasis pada saling percaya dan saling menghormati. Penting juga untuk memahami bahwa informasi yang dikecualikan bukan berarti bersifat rahasia selamanya. UU KIP memungkinkan pembukaan informasi yang sebelumnya dikecualikan setelah jangka waktu tertentu atau jika kepentingan publik lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan. Misalnya, dokumen sejarah yang dulunya rahasia dapat dibuka setelah 25 atau 30 tahun sebagai bagian dari pertanggungjawaban sejarah dan pembelajaran publik.

Kesimpulannya, keterbukaan informasi publik adalah hak fundamental yang diakui dalam sistem demokrasi. Namun, hak tersebut harus dijalankan dengan tanggung jawab dan pemahaman yang utuh mengenai batasan-batasannya.

Informasi yang dikecualikan bukanlah bentuk pengekangan kebebasan, melainkan bagian dari mekanisme perlindungan terhadap kepentingan yang lebih besar, termasuk keamanan nasional, hak individu, dan kelangsungan usaha. Oleh karena itu, masyarakat perlu terus didorong untuk memahami dan menerima bahwa tidak semua informasi harus atau bisa diakses secara bebas. Dengan pemahaman ini, budaya keterbukaan informasi di Indonesia akan berkembang secara sehat, bijak, dan berkeadilan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan