Separo jalan

--

Dengan adanya PLTU 3 x 25 MW di Kalbar pabrik alumina terbangun. Kita pun mampu memproduksi sendiri baham baku untuk peleburan alumunium  di Inalum.

Kalau pabrik di Kalbar memproduksi alumina, Inalum di Asahan memproduksi  alumunium batangan --ingot. Alumunium batangan dijual ke pabrik-pabrik alumunium untuk memproduksi panci, wajan, kerangka atap rumah, kusen pintu dan banyak lagi. Kini praktis alumunium sudah meggantikan fungsi kayu yang kian mahal.

Inalum itu awalnya milik Jepang. Mengapa Jepang membangun  peleburan itu di muara sungai Asahan? Bukankah tidak ada bahan baku di sana?

Alasannya satu: listriknya murah. Peleburan apa pun memerlukan listrik yang sangat besar. Di Asahan ada air terjun di dekat danau Toba. Jepang mengincar air terjun itu. Di situ dibangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Listriknya, sebanyak 600 MW, dialirkan sejauh 60 km dari Toba ke pantai Kuala Tanjung --lokasi pabrik Inalum.

Anda sudah tahu: listrik hasil PLTA murahnya luar biasa. Maka Inalum sukses besar. Kalau saja listriknya dibangkitkan dengan BBM, maka biaya listriknya bisa  50 persen sendiri. Tapi tidak semua wilayah punya air terjun. Di Kalbar, Morowali, Halmahera tidak mungkin dibangun PLTA. Padahal di wilayah-wilayah itu kaya nikel dan bauksit.

Maka pilihannya tidak lain batubara. Tanpa batubara tidak mungkin nikel dan bauksit itu bisa dilakukan hilirisasi. Apa boleh buat. PLTU baru terpaksa diizinkan, khusus untuk mereka.

Siapa pemilik pabrik baru peleburan alumina di dekat Pontianak itu? Tiongkok lagi? Bukan! Pemiliknya adalah Inalum. Bersama Antam. Seratus persen BUMN. Tanpa pinjaman asing pula. Bahkan tanpa pinjaman bank dalam negeri.

Uangnya dari mana?

"Lho bapak lupa?" jawab Agus Tjahyana, seorang manajer proyek di situ.

"Apa hubungannya dengan saya?"

"Waktu bapak ambil alih Inalum dari Jepang uang kasnya kan banyak sekali..."

Tentu saya ingat. Tapi tidak benar kalau saya yang mengambil alih Inalum. Yang bekerja paling keras adalah menteri perindustrian waktu itu: Mohamad Hidayat. Terutama tim negosiasinya yang dipimpin sekjen Kementerian Perindusterian. Tentu kami semua mendapat restu dari Presiden SBY saat itu.

Waktu kita ambil alih sebenarnya pihak Jepang sangat keberatan. Jepang ingin sekali tetap menjadi pemilik Inalum --kontraknya minta diperpanjang.

Kami tidak perpanjang --dengan cara yang sangat baik. Jadilah milik BUMN sepenuhnya.

Keputusan Inalum untuk kemudian membuat pabrik bahan baku di Kalbar tentu bersejarah. Keputusan Inalum itu jauh lebih bagus dibanding Antam yang membangun smelter serupa di Tayan --juga di Kalbar tapi jauh dari pelabuhan besar.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan