Matahari Kembar : Oleh Dahlan Iskan

--

Tentu saya tidak pernah menyangka Junaini anak orang Jawa. Gaya bicaranya sangat Melayu-Kalbar. Kadang saya sulit menangkap maknanya.

 

Sang ayah bukan transmigran Jawa di Kalbar. Ia pegawai negeri di kementerian pekerjaan umum yang dipindah ke Pontianak. Yakni saat ibu kota Kalbar membangun Pontianak Convention Center. Ia ikut di proyek itu.

 

Di Pontianaklah sang kakek ketemu jodohnya: wanita keturunan Pidie, Aceh. Lahirlah Junaini. Jadi wartawan.

 

Sang wartawan bertemu seorang siswi kebidanan yang indekos di dekat rumah Kasimin. Saling jatuh cinta. Tapi ada tembok di antara cinta itu. Gadis itu Tionghoa. Katolik. Bermarga Tan. Dia berasal dari daerah Mempawah, sekitar 50 km dari Pontianak.

 

Tembok itu jebol. Tan yang menerobosnya. Lahirlah anak pertama: Qadhafy. Lalu mereka mengambil anak angkat, seorok bayi dari keluarga Tionghoa. Tak lama kemudian lahir anak laki-laki terakhir: Iqbal.

 

Si anak angkat, tetap ikut agama orang tua asli: Konghuchu. "Kami tetap bersaudara. Tetap kami anggap kakak," ujar Iqbal.

 

Setiap ke Pontianak saya makan bersama Junaini. Biasanya di resto masakan Tiuchu terkenal di Pontianak. Terakhir tahun lalu. Yakni setelah saya pulang dari Chaozhou, satu kabupaten dekat kota Shantou.

 

Kepadanya saya pamer diri: baru pulang dari Chaozhou. Saya pikir hanya orang seperti saya yang bisa sampai ke Chaozhou. Lalu saya pamer cerita: betapa lezatnya masakan Chaozhou di sana.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan