Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb. Izin bertanya, jika ada wanita yang hamil karena zina dan meminta pertanggungjawaban dari lelakinya lalu mereka menikah pada saat hamil, apakah pernikahannya sah atau perlu menikah lagi setelah si wanita melahirkan?
Jawaban:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Kami mengucapkan terima kasih kepada Saudara penanya yang telah berkenan menyampaikan pertanyaannya ini. Semoga kita semua senantiasa berada dalam limpahan taufik dan hidayah-Nya, sehingga terhindar dari segala perbuatan yang dilarang oleh agama.
Terkait pertanyaan mengenai bagaimana hukum menikahi wanita yang hamil karena zina, serta apakah perlu melakukan akad nikah ulang setelah ia melahirkan, berikut penjelasannya:
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita hamil.
Menurut pendapat Imam Syafi'i dan pendapat Imam Abu Hanifah boleh dan sah menikahi wanita hamil karena zina. Sementara menurut Imam Malik hukum menikahi wanita hamil karena zina tidak diperbolehkan.
Adapun alasan kebolehan menikahi wanita hamil karena zina menurut mazhab Syafi'i dan mazhab Hanafi adalah karena wanita itu tidak berada dalam ikatan nikah dan tidak sedang menjalani masa ‘iddah dari laki-laki lain.
Dari sini kita dapat memahami bahwa wanita hamil karena zina tidak mempunyai masa iddah yang artinya ia boleh dinikahi dalam keadaan hamil tidak harus menunggu sampai melahirkan.
Kemudian ulama yang membolehkan menikahi wanita hamil karena zina juga berbeda pendapat terkait apakah setelah menikahi wanita hamil karena zina tersebut diperbolehkan berhubungan badan dengannya sebelum melahirkan atau tidak?
Menurut pendapat yang disahihkan oleh Syaikhoni dalam mazhab Syafi'i (Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi‘i) adalah diperbolehkan berhubungan badan.
Imam Rafi'i berkata: "kehamilan karena zina tidak memiliki kehormatan. Apabila hubungan badan dilarang, niscaya pernikahan pun ikut dilarang, sebagaimana hukum pada wathi syubhat".
Sedangkan menurut pendapat Imam Abu Hanifah tidak boleh menggaulinya.
Mereka berdalil dengan hadis Abu Dawud dan At-Tirmidzi: artinya: "Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan air maninya pada tanaman yang bukan miliknya."
Bagi ulama yang menyatakan kebolehan menggaulinya menjelaskan bahwa hadis tersebut datang untuk melarang menyetubuhi tawanan perang yang sedang hamil, karena janin yang dikandungnya memiliki kehormatan, sehingga haram menggaulinya demi menjaga kehormatannya. Adapun kehamilan karena zina tidak memiliki kehormatan yang menuntut pelarangan hubungan badan.