Namun, seperti cinta pada pandangan pertama atau nama kekasih yang tertulis di skripsi, terkadang malah umurnya tidak panjang. Termasuk karier saya sebagai wartawan. Pada 2002 saya mengundurkan diri dari tempat bekerja yang saya cintai.
Meski begitu, kagum dan hormat saya kepada Jawa Pos dan Pak Dahlan Iskan tak pernah luntur. Betapa banyak yang saya pelajari dari Pak Dahlan, walau saya yakin baru secuil, sangat berdampak pada hidup dan karier saya.
Multitasking, disiplin, put all effort, menjadi sosok pembeda, orientasi hasil, tepat waktu, rapat harus efisien, dan selalu coba thinking out of the box.
Pun, setiap saya mengalami kesulitan, muram, dan kehilangan semangat kerja karena melihat ekonomi atau nasib industri yang kelam, kalimat Pak Dahlan selalu menyemangati, ”Kok, mau kondisi ekonomi bagus atau jelek, kita tetap harus kerja keras. Mau 1 dolar setara 10 ribu atau 20 ribu, pilihan kita hanya kerja keras.”
Saat ini kalimat Pak Dahlan mungkin dianggap toxic oleh sebagian masyarakat. Dianggap sebagai bagian dari hustle culture alias kerja keras bagai kuda dengan mengesampingkan hal-hal lain dalam kehidupan. Tapi, bagi saya saat itu sampai detik ini, kalimat-kalimat pendek Pak Dahlan itu membuat saya bangkit berkali-kali.
Gerutuan saya mengenai frasa ”kok tega” berubah menjadi rasa syukur. Tak banyak rasanya CEO perusahaan besar yang memberikan tugas langsung kepada staf, menyemangati, memberikan pujian, dan tentu saja teguran keras jika perlu. Saya sungguh bersyukur.
Hari ini saya begitu kaget dengan status tersangka yang disematkan kepada Pak Dahlan Iskan. Pak Dahlan adalah Jawa Pos, Jawa Pos adalah Pak Dahlan. Tapi, yang terjadi adalah Pak Dahlan dan Jawa Pos saat ini saling gugat dan berujung Pak Dahlan menjadi tersangka.
Saya tak terlalu peduli apa yang terjadi hingga saling gugat. Saya hanya bergumam, kok tega. Pak Dahlan membangun Jawa Pos di era 1980. Menggeser budaya membaca koran sore menjadi pagi, membangun budaya kerja yang kuat dan tentu saja menghasilkan pendapatan yang peningkatannya eksponensial dari tahun 1980 hingga 2000-an.
Apa tak tersisa ingatan saling menghidupi sebegitu lamanya? Apa tak ada sisa rasa sayang dan saling dukung yang sudah berjalan hampir setengah abad sejak Jawa Pos diambil alih, sehingga Pak Dahlan di masa tua harus menghadapi status tersangka?
Kok tega! (*)