Eksis Belum

Jumat 23 May 2025 - 18:10 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi

 

Satu lembar saham itu --begitu kuatnya-- disebut saham Merah Putih. Dalam akta perusahaan sudah disebutkan: saham Merah Putih memiliki hak veto di perusahaan BUMN. Artinya, untuk keputusan-keputusan penting pemilik satu lembar saham itu harus setuju. Tidak setuju, batal.

 

Apakah dengan demikian perusahaan BUMN semakin tidak fleksible? Kalau dulu hanya punya 'atasan' satu, sekarang punya 'atasan' dua?

 

Bukankah pembentukan Danantara dimaksudkan agar BUMN kita lebih lincah --tidak serba kalah manuver dari swasta? Bukankah perubahan UU BUMN terbaru juga punya maksud seperti itu?

 

Maka kini terserah menteri BUMN. Apakah ia akan menggunakan kekuasaan satu lembar saham itu untuk menyetujui atau menolak keputusan apa pun. Atau, ia akan membatasi diri hanya untuk keputusan-keputusan yang terkait dengan kedaulatan negara saja. Misalnya: ketika perusahaan BUMN akan melepas saham melebihi 50 persen.

 

Selebihnya, biarlah berada sepenuhnya menjadi wewenang Danantara. Kalau perusahaan BUMN masih tunduk pada dua-duanya, bukankah itu justru menambah birokrasi. Bukan lagi kian sederhana. Kian ruwet.

 

Sebenarnya BUMN tidak hanya tunduk pada dua lembaga itu. Masih juga harus tunduk pada kementerian teknis. Misalnya PLN, Pertamina atau perusahaan pertambangan: harus tunduk kepada Kementerian ESDM. Direksinya harus sering rapat di sana.

 

Selain itu masih ada yang satu ini: DPR. Direksi BUMN sering dipanggil DPR. Harus siap dicaci maki di situ --pun untuk yang sangat teknis. 

 

Setelah ada Danantara, apakah DPR masih akan sering memanggil direksi BUMN? Ataukah hanya akan memanggil Danantara?

Kategori :

Terkait

Jumat 23 May 2025 - 18:10 WIB

Eksis Belum